Selasa, 10 Juni 2008

MENGENAL PENDIDIKAN INKLUSIF (2)

V. IMPLIKASI MANAJERIAL INKLUSIF

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:

1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.

2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.

Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik.

3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.

Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar dan mengajar dengan yang lain.

4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

Meskipun guru selalu berinteraksi dengan orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengejaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan paraprofessional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.

5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Keberhasilan pendidikan inklusif sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.

VI. MODEL PENDIDIKAN INKLUSI IDONESIA

A. Alternatif Penempatan

Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:

1. Kelas reguler (inklusi penuh)

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2. Kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3. Kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.

6. Kelas khusus penuh

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:

  1. jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,

  2. jenis kelainan masing-masing anak,

  3. gradasi (tingkat) kelainan anak,

  4. ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta

  5. sarana-prasara yang tersedia.

B. Komponen Yang Perlu Disiapkan

Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

1.input siswa,
2.kurikulum (bahan ajar),
3.tenaga kependidikan (guru/instruktur/ pelatih),
4.sarana-prasarana,
5.dana,
6.manajemen (pengelolaan), dan
7.lingkungan (sekolah, masyarakat, dan keluarga),

yang secara diagramatis dapat dilihat pada diagram 1. Komponen-komponen seperti pada diagram merupakan sub-sistem dalam sistem pendidikan (sistem pembelajaran). Bila ada perubahan pada salah satu sub-sistem (komponen), maka menuntut perubahan/penyesuaian komponen lainnya.

Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa, yakni tidak hanya menampung anak normal tetapi juga anak berkelainan, maka menuntut penyesuaian (modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peranserta guru, sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, serta kegiatan belajar-mengajar.

VII. ISU-ISU STRATEGIS

Sehubungan dengan hal di atas, dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif perlu diperhatikan beberap isu strategis berikut:

1.Input siswa

Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

  1. a.Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan
    dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya (anak
    normal)?

  2. Bagaimana identifikasinya?

  3. Apa alat identifikasi yang digunakan?

  4. Siapa yang terlibat dalam identifikasi?

2.Kurikulum

Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

  1. a.Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan
    anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?

  2. Siapa yang mengembangkannya?

  3. Bagaimana pengembangannya?

3.Tenaga kependidikan

Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

  1. a.Siapa saja tenaga kependidikan yang terlibat?

  2. Apa peranserta masing-masing?

  3. Bagaimana kualifikasi gurunya?

  4. Persyaratan apa yang harus dimiliki?

4.Sarana-prasarana

Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

  1. Prasarana apa yang diperlukan?

  2. Sarana apa yang diperlukan?

5.Dana

Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak.
Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

a.Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b.Untuk keperluan apa saja dana tersebut?

6.Manajemen

Penyelenggaraan pendidikan inklusif memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:

  1. a.Bagaimana manajemennya?

  2. Siapa saja yang dilibatkan?

  3. Apa tugas dan fungsinya?

7.Lingkungan

Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:

  1. a.Bagaimana lingkungan sekolahnya?

  2. Bagaimana lingkungan sekitaranya?cBagaimana lingkungan
    rumah tangganya?

  3. Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan
    peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu
    pendidikan di sini?

8.Proses belajar-mengajar

Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:

  1. a.Bagaimana perencanaan kegiatan belajar-mengajar?

  2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar?

  3. Bagaimana evaluasi kegiatan belajar-mengajar?


DAFTAR PUSTAKA
Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children with Special Needs.
New York: Prentice Hall.

Baker,E.T.(1994). Metaanalysis evidence for non-inclusive educational
practices. Disertasi, Temple University.

Baker,E.T., Wang,M.C. & Walberg,H.J.(194/1995). The effects of
inclusion on learning. Educational Leadership. 52(4) 33-35.

Carlberg,C.& Kavale,K. (The efficacy of special class vs regular class
placement for exceptional children: a metaanalysis. The Journal of
Special Education. 14, 295-305.

Fish,J. (1985). Educational Opportunities for All. London: Inner London
Education Authority.

Mulyono Abdulrahman (2003).Landasan Pendidikan Inklusif dan
Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam
pelatihan penulisan buku ajar bagi dosen jurusan PLB yang
diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26 Agustus 2002.

O?Neil,J.(1994/1995). Can inclusion work? A Conversation with James
Kauffman and Mara Sapon-Shevin. Educational Leadership.
52 (4) 7-11.

Stainback,W. & Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive
Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.
Brooks.

Staub,D. &Peck, C.A.(1994/195). What are the outcomes for nondisabled
students? Educational Leadership. 52 (4) 36-40.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action
on Special Needs Education. Paris: Author.

Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional,
Diverse, and at Risk Students in the General Educational Classroom.
Boston: Allyn Bacon.

Warnock, H.M.(1978). Special Educational Needs: Report of the
Committee of Enquiry into the Education of Handicapped Young
People. London: Her Majesty?s Stationary Office.

(slbn-cileunyi.sch.id)

Tidak ada komentar: