Selasa, 10 Juni 2008

Sekolah Ramah terhadap Anak-Anak dari Minoritas Etnis

Marc Wetz

Selama beberapa tahun Marc Wetz bertanggung jawab di bidang pendidikan di kantor perwakilan UNICEF untuk wilayah Thailand Utara. Sejak ia memegang jabatan barunya sebagai Perwakilan Negara bagi Enfants et Developpement pada bulan Oktober 2003, ia menerapkan konsep Ramah terhadap Anak di dua proyek untuk minoritas etnis di wilayah pegunungan terpencil di Vietnam Utara. Dalam artikel ini ia memaparkan beberapa faktor penting pendorong kesuksesan konsep Sekolah yang Ramah terhadap Anak [SRA] dalam konteks minoritas etnis.

Semua Sekolah perlu menjadi Sekolah Ramah terhadap Anak-tidak hanya Sekolah Dasar
Saya terkejut ternyata banyak organisasi yang masih berencana menerapkan SRA hanya di sekolah dasar. Manfaat dari penerapan konsep SRA di TK, SD dan SLTP/SLTA sangatlah jelas. Apakah kita ingin mengekspos anak-anak kepada kritikan pedas, siksaan fisik di Sekolah Menengah jika mereka tidak berpartisipasi dalam kelas karena keingintahuan dan bersikap proaktif seperti ketika mereka belajar di SD yang Ramah Terhadap Anak? Dalam keadaan seperti itu lebih baik kita membiarkan saja daripada membingungkan anak-anak, para guru dan anggota masyarakat.

Melengkapi Inisiatif SRA melalui inisiatif Desa yang Ramah terhadap Anak/Keluarga
Ada banyak alasan ditemukan di masyarakat mengapa anak-anak memiliki kesulitan untuk bersekolah dan kesulitan untuk tetap meneruskan sekolah. SRA mendorong sekolah untuk terlibat secara proaktif dalam membangkitkan inisiatif masyarakat. Kita harus menghubungkan SRA dengan inisiatif masyarakat/keluarga yang ramah terhadap anak yang dapat meningkatkan standar hidup di desa serta membantu mencari solusi rendahnya tingkat kehadiran di sekolah.

Implementasi Seluruh Komponen/Dimensi SRA secara bersamaan.
Di daerah minoritas etnis yang tantangannya besar dalam hal akses dan ritensi, cenderung hanya memfokuskan pada persiapan kelas yang aksesibel dalam lingkungan fisiknya saja. Bagaimanapun juga lingkungan sosial-psikologis (cth; pembelajaran aktif, metodologi pengajaran yang terpusat pada anak dan keterampilan hidup) itu penting dan harus diterapkan secara tepat sejak awal. Seluruh dimensi SRA saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lain. Aktifitas-aktifitas dalam cakupan lingkungan sosial psikologis merupakan faktor penarik yang sangat penting dan jika tidak disertakan dalam strategi penerapan SRA kita, bisa menjadi faktor penolak.

Adaptasi SRA ke dalam konteks lokal melalui identifikasi prioritas unik setiap daerah (indikator eksternal dan internal)
Sekolah-sekolah di wilayah minoritas etnis lebih disoroti dari konteks ekonomi dan sosialnya daripada di wilayah etnis mayoritas. Ini berarti sekolah harus menyiapkan prioritasnya sendiri daripada hanya mempergunakan prioritas dari mayoritas etnis . Jika ini dilaksanakan dengan partisipasi dari anak-anak dan anggota masyarakat, akan memberikan kontribusi signifikan terhadap tumbuhnya rasa memiliki kepada inisiatif SRA. Sangatlah penting jika prioritas utama adalah anak (cth; guru harus berbicara dengan nada bicara yang menyenangkan dan lembut) dan anggota masyarakat dihargai ketika kriteria final ditetapkan.

Membangun Partisipasi Tinggi bagi Anak-Anak dan Anggota Masyarakat
Ini sangat penting karena melihat kenyataan bahwa minoritas etnis sering memiliki kepercayaan diri rendah, tidak memahami bahasa nasional yang digunakan oleh guru. Biasanya mereka merasa tidak memiliki kapasitas untuk terlibat urusan sekolah. Walaupun ini berat tantangannya, manfaat melibatkan mereka dalam setiap langkah inisiatif SRA sangatlah besar. Bukti proses partisipasi adalah dengan melibatkan mereka sejak awal dalam sensitisasi Konvensi Hak Anak [KHA], visualisasi `sekolah impian' mereka, menyusun kriteria SRA mereka sendiri, penilaian sekolah sendiri, menyusun rencana pengembangan sekolah tahunan dan monitoring proses implementasi seyogyanya dengan menggunakan perangkat monitoring yang tepat dan diadaptasikan bagi anak-anak dan anggota masyarakat.

Implementasi kurikulum lokal untuk membuat pendidikan lebih sesuai dengan konteks dan sebagai langkah pertama untuk sekolah menjadi ramah terhadap masyarakat
Cara baik untuk membuat kurikulum sekolah lebih sesuai dengan konteks lokal adalah dengan mengembangkan kurikulum lokal. Semua komunitas etnis memiliki nara sumber yang kaya akan pengetahuan daerahnya (cth; keterampilan mata pencaharian seperti bertenun, bahasa, kepercayaan, sejarah, lagu, dsb). Memang para nara sumber ini membutuhkan pelatihan in-service dan dukungan guru-guru karena mereka belum memiliki kapasitas mengajar di sekolah. Dengan melibatkan kurikulum lokal dalam inisiatif SRA tidak hanya bermanfaat untuk penyelenggaraan pendidikan yang lebih sesuai dengan konteks daerah tapi menjadikan sekolah sebagai bagian dari komunitas daerah karena keterlibatan anggota masyarakatnya. Proses ini akan mengembalikan kepercayaan diri minoritas etnis. Ini mengurangi jurang pemisah antara masyarakat dan sekolah juga merupakan sebuah landasan yang tepat bagi pembelajaran untuk orang dewasa serta membuat sekolah-sekolah tidak hanya ramah terhadap anak dan guru tetapi juga ramah terhadap masyarakat.

Fasilitas asrama tidak boleh dilupakan karena asrama memberikan kesempatan yang baik untuk pengenalan Aktifitas Keterampilan Hidup
Kebanyakan wilayah minoritas etnis tidaklah padat maka jarak sekolah dan rumah jadi kendala. Oleh karena itu fasilitas asrama yang memadai adalah suatu keharusan bagi tiap SRA. Fasilitas itu harus sehat, aman dan protektif (ini sangat penting bagi anak perempuan) serta menyediakan kesempatan yang baik untuk membuat aktifitas-aktifitas dalam ekstra kurikulum seperti klub-klub berdasarkan minat dengan pelatihan untuk mata pencaharian dan keterampilan hidup yang dapat menjadi titik awal yang baik untuk memperkenalkan aktifitas tersebut di sekolah.

Advokasi untuk kebijakan yang ramah terhadap minoritas etnis.
Inisiatif SRA harus melibatkan usaha-usaha yang membuat kebijakan pemerintah menjadi lebih ramah terhadap anak dari kelompok minoritas etnis. Sebagai contoh; tahun ajaran sekolah yang fleksibel harus dapat mengakomodasi masa panen dan musim dingin untuk menaikan tingkat kehadiran siswa di sekolah. Disini dibutuhkan kurikulum yang fleksibel dan teradaptasi, begitu juga bagi sekolah-sekolah yang bersikap proaktif dalam melibatkan anak-anak yang sudah menikah usia dini. (idp-europe.org)

Marc Wetz adalah Perwakilan Negara untuk Enfants et Developpement (Dulu "Save the Children France"), Ia dapat dihubungi di:
103 Van Phuc Building, No 2 Nui Truc, Kim Ma, Hanoi, Vietnam, mwetz@eedvn.org

Tidak ada komentar: